Hari H-3 tibalah mereka di tempat tinggalku yang sempit yang aku bangun dari tetesan keringatku 20 tahun yang lalu dipinggiran jabodetabek. Setelah istirahat berapa jam mandi, makan, minum seperlunya mulailah ak picu mobilnya perlahan tapi pasti menyusuri tol cikampek menuju kampung halaman sekampung dengan ratu laut selatan yang menghabiskan waktu 30 jam sampai tujuan karena betapa dahsyatnya kemacetan di sepanjang jalan.
Setiap macet hingga mobil tidak dapat bergerak aku coba menepi menghentikan mobil sambil istirahat, setiap kesempatan aku coba bertanya, berdiskusi pada pemudik lain yang bernasib sama menikmati kemacetan sepanjang perjalanan. Aku liat anak muda menyapaku tak aku sia-siakan untuk berdikusi dan bertanya apakah benar masyarakat kita miskin? coba lihat ratusan kilometer mobil-mobil 60% baru berderat sepanjang jalan, tidak-tidak miskin hanya banyak mengeluh jawab anak muda itu, apakah benar mobil-mobil itu dibeli dari uang halal penghasilannya selama bekerja? pertanyaanku berikutnya, anak muda itu termenung sambil memegang jidatnya sambil menghisap rokok dia berkata kayak gak tahu aja negeri kita terkorup didunia, masak sih jawabku sambil pura-pura bego.
Kemacetan sedikit ter-urai mulai bergerak dengan kecepatan max 20km/jam, jarum jam menunjuk pada angka 01.15 pada hp ku, karena letih dan ngantuk aku menepi kembali kali ini di warung makan yang punya halaman luas aku pikir bisa melepas sedikit lelah sambil menikmati secangkir kopi. Saat aku sedang nyeruput kopi panas seorang bapak dengan 5 anak menyapaku lalu aku persilahkan duduk disebelahku mereka berasal dari pinggiran Jakarta mau mudik ke pinggiran Jateng. Aku bertanya banyak hal dari keluarga hingga kehidupan, bapak itu cerita kalau dia pensiun dini dari bank terkenal di jateng lalu berwira swasta tapi bangkrut banyak kena tipu untunglah ke-5 anaknya sudah banyak yang berhasil ada pegawai bumn dan pramugari diantaranya. apakah bapak merasakan nyaman pada kehidupan saat ini tanyaku, susah katanya dengan melemahnya rupiah semuanya menjadi sulit bapak itu mencoba bertahan dengan budidaya bonsai untuk export.
Setelah aku habiskan 10 tusuk sate ayam dan secangkir kopi berdiskusi panjang lebar dengan sesama pemudik, kini saatnya aku memacu mobil kembali menyusuri kepadatan arus mudik melewati tepian pegunungan, tepi sungai dan ratusan desa tibalah ke kampung halamanku saat menjelang berbuka pada hari terakhir puasa ramadhan. Kucoba periksa rumah peninggalan orang tuaku, lalu ak masuk ke rumah adik2ku yang lain karena rumahku sudah sangat kusam tidak cukup sehat untuk menginap.
Tibalah saatnya berbuka puasa adikku sudah menyiapkan santapan berbuka mulai dari gudeg manggar, gurami bakar, bandrek, dan banyak lagi makanan khas yang menjadi kesukaanku. Setelah malam lewat terdengar adzan subuh di mesjid wakaf orang tuaku yang terdapat didepan rumah gandeng dengan rumah peninggalan orang tuaku, akupun bergegas solat subuh berwudhu dengan air yang sangat jernih "kemrenyes" menyegarkan seluruh tubuhku.
Adzan subuh terdengar hari lebaran telah tiba jam 06.30 aku berangkat bersama kakak dan adik2ku konvoi 3 mobil menuju tanah lapang, aku lepas pandang ke seluruh penjuru lapangan aku terkesima 1/3 luas lapangan dipenuhi parkir mobil 60% baru, dalam hatiku berkata disini sudah jarang (tidak ada) orang miskin. Padahal saat aku pertama bekerja parkir mobil ditempat dan suasana yang sama hanya terdapat tidak lebih 10 mobil.
Ini malam ke-2 dikampungku, sehabis subuh aku jalan-jalan pagi menyusuri jalan depan rumah yang sudah beraspal sangat halus, menyusuri persawahan dan sungai sambil melihat kelangit yang bertabur bintang yang mulai redup bergati sang surya.
Saat itulah aku mengangkat tangan menengadah ke langit menatap bintang-bintang dan rembulan yang mulai redup sambil menyebut 99 namaMu. Ar-rahman, Ar-rakhim, Al-malik, dst.. seakan teringat di era para rosul sedang mencari Tuhan.
Dibalik sungai itu terdapat banyak rumah penduduk kira-kira setiap radius 20 meter ada bangunan rumah, keluarlah bapak dan ibu membuka pintu rumah menyongsong pagi menyapaku menjulurkan tangan sambil mengucapkan salam mengajakku untuk duduk di teras rumah sambil bercerita masa lalu, masa kecilku dan masa-masa para sesepuh simbah-simbah. bapak itu mancoba membandingkan masa kini dan masa lalu dikala simbah menggorang kedelai cukup membuka ikat kepala lalu di aduk-aduk pakai tangan telanjang maka masaklah kedelai itu dan siap disantap. dari pembicaraan itu tersirat bahwa ilmu-ilmu kesaktian itu pada dasarnya tidak benar karena hanya menjauhkan diri dari Rahmat tuhan ungkapnya.
Tak terasa jam menunjuk 10.00 (pagi) saudara2ku kebingunan mencariku karna mau diajak ke paklik (om) yang berada tak jauh dari lereng merapi dimana para patriot pembela tanah air di gembleng disini. dulu paklik pernah meng-gadang2 aku untuk masuk akademi militer tapi aku kurang tertarik aku lebih suka olah pikir dari pada olah kanuragan, olah kanuragan diperlukan kesepaptaan jasmani sedang olah pikir diperlukan kecerdasan. Anak2 paklik menyambutku dengan antusias karna emang lama tidak ketemu sempat bercerita keadaan negeri dimana ada orang penting yag berasal dari desa Ngotho dia bercerita panjang lebar aku hanya tersenyum dan mengangguk-angguk saja. Bang orang "jendral" sekarang banyak yang keblinger katanya uang telah melupakan segalanya, menjadi motifasi utama menggantikan kecintaanya pada bangsa dan negara katanya, aku mengangguk-angguk lagi dan meng-iyakan. lalu aku menerawang manatap tepian bukit menoreh udara sejuk dengan air sangat dingin. Beberapa jam berlalu tibalah saatnya berpamitan setelah sebelumnya menyantap opor ayam, krecek dan krupuk ikan.
Dalam perjalanan mampir ke saudaraku yang lain tak jauh dari kota Muntilan, menyusuri pedesaan aku melepas pandang ke persawahan rupanya padi disini sedang diserang hama wereng aku sempat bertanya pada penduduk sekitar kenapa tidak menanam padi VUTW (Varietas Unggul Tahan Wereng) tanyaku, tapi pertanyaan itu membuat mereka bingng bahkan tidak ngerti apa itu VUTW maka ak sempat jelaskan sebisaku. Secara umum daerah sini daerah minus menurutku penduduknya hidup pas-pasan, benyak berternak ayam, bebek, burung dara selain menanam padi. sebagian menjadi tentara atau guru.
Karena lingkungan yang menurutku kurang hiegienis tawaran makan pun terpaksa aku tolak dengan halus sambil beralasan sudah kenyang dan perutku lagi mual, aku hanya makan makanan kecil yang terbungkus.
Menjelang maghrib aku pulang menuju kampungku konvoi 3 mobil bersama saudar2ku. H+3 aku balik ke pinggiran jabodetabek dalam perjalanan mencoba masuk tol Cipali yang kala itu masih subuh dan lancar pada rest area beristirahat lagi-lagi aku mengamati kesibukan manusia dilihat dari caranya berpakaian, raut wajah dan bicaranya sepertinya kebanyakan orang kampung namun semuanya bermobil malah sempat aku lihat anak muda terdapat gadget china menonjol di saku celana kiri jeans belelnya sepertinya gadget itu berukuran jauh lebih besar dari pada ukuran kantong celananya.
Lebaran adalah budaya masyarakat negeri ini terkait dengan hari Idul Fitri dimana manusia saling bermaaf-maafan dan bersilaturahmi.
Masyarakat kebanyakan cenderung konsumtif, punya gaya hidup 'life style', sudah banyak yang berpendidikan tinggi mulai dari S1, S2, S3 namun sepertinya pendidikan itu belum mampu mengubah menjadi manusia yang bermutu, taat pada agama yang dianutnya, taat pada negara tempat tinggalnya, tidak munafik dan tidak pula pendusta.
Negeri bisa makmur dan rakyat sejahtera hanya bisa melalui manusia yang berkualitas. Masyarakat negeri ini sepertinya punya mobil, rumah dan sederat barang-barang konsumtif / gaya hidup lainnya tapi jika diaudit aset dan utangnya hampir sama Debt Equity Rationya 1X bahkan banyak yang utangnya jauh lebih besar dari pada aset. hanya sedikit masyarakat yang benar-benar kaya dan itu pun kebanyakan pejabat korupsi / pengusaha hitam.
Kekayaan Sember Daya Alam yang seharusnya menjadi hak masyarakat anugerah Tuhan YME belum bisa dinikmati sepenuhnya oleh penduduk asli, masih banyak dikuasai asing/aseng.
-----------
ditulis dengan pikiran dan bahasa bebas
No comments:
Post a Comment